Kerja-Kerja Pembaharuan Islam
Syaikh Muhammad Abduh memang patut dijadikan inspirasi dalam kerja-kerja pembaharuan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dan belakangan oleh organisasi Muhammadiyah. Sebagai figur penting dalam sejarah pembaharuan pemikiran dan pergerakan (politik) Islam, Abduh memiliki gagasan-gagasan progresif sehubungan dengan pembaharuan umat Islam, di antaranya pendidikan Islam. Gagasan-gagasannya ini ia suarakan saat ia menjabat sebagai Rektor pada Universitas Al-Azhar di Mesir. Pada masa menjabat inilah, ia banyak melakukan perombakan terhadap universitas, yang pengaruhnya penting bagi pembaharuan Universitas al-Azhar saat itu.
Syaikh Muhammad Abduh meyakini bahwa kemajuan umat Islam hanya bisa dicicip setelah mereka mengalami kemajuan pendidikan yang signifikan. Alasan kenapa umat Islam mengalami kemunduran, hal ini menurutnya bisa jadi dikarenakan terjadinya situasi statis dalam kesadaran kolektif umat Islam. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, Islam mundur karena umatnya statis. Mereka enggan menerima bahkan menolak pembaruan, termasuk pembaharuan dalam konteks politik dan kenegaraan. Maka berdasarkan alasan tersebut, Syaikh Muhammad Abduh menyerukan pentingnya keberadaan ijtihad, dan pintu untuk itu seharusnya selalu dibuka untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan.
Syaikh Muhammad Abduh meyakini bahwa kemajuan umat Islam hanya bisa dicicip setelah mereka mengalami kemajuan pendidikan yang signifikan. Alasan kenapa umat Islam mengalami kemunduran, hal ini menurutnya bisa jadi dikarenakan terjadinya situasi statis dalam kesadaran kolektif umat Islam. Pada konteks ini, Syaikh Muhammad Abduh tampaknya menyukai model perubahan yang dilakukan secara evolusioner; bukan model perubahan yang dilakukan secara revolusioner sebagaimana yang tren dalam Marxisme.
Meski amat menekankan pentingnya rasionalisasi sebagai syarat berkemajuan, bukan berarti Syaikh Muhammad Abduh mengecilkan kedudukan iman. Bahkan sebaliknya, menurut Abduh sudah seharusnya iman dapat mendasari kesemua proses untuk mencapai kemajuan tersebut. Hal ini ia ulas dalam Risalah Tauhid, yang mencakup beberapa pokok pikiran: pertama, bahwa iman bukan sekadar tasydiq, akan tetapi iman juga mencakup ma’rifat yang disertai dengan perbuatan. Iman mencakup tiga unsur: ilmu (pengetahuan), i’tiqad (kepercayaan), dan keyakinan; kedua, sifat Tuhan adalah esensi Tuhan, yaitu bahwa sifat Tuhan tidak berdiri sendiri; ketiga, perbuatan wajib Tuhan mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya dan kepentingan manusia. Selain itu, tugas Tuhan adalah berbuat baik kepada manusia, tidak membebani manusia dengan hal yang diluar kemampuan manusia, mengirim Rasul sebagai teladan bagi manusia yang berbuat baik dan jahat sesuai dengan apa yang mereka lakukan; keempat, Tuhan Maha Adil, niscaya mustahil untuk berbuat aniaya, karena hal tersebut bertentangan dengan keadilan Tuhan. Hukuman dan pahal diberikan pada manusia sesuai dengan amal baik dan buruknya; kelima, Tuhan Maha Berkuasa dan Berkehendak, tapi tidak bertindak sewenang-wenang karena bertentangan dengan sifat adilnya. Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dengan sunnah-Nya yang tidak mengalami perubahan; keenam, manusia diberi kehendak dan kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, sehingga dibekali akal dan pikiran untuk mempertimbangkan akibat perbuatannya, kebebasannya dibatasi hukum alam (sunnatullah); ketujuh, akal mempunyai fungsi yang sangat tinggi. Dengan akal dapat diketahui adanya Tuhan dan sifat-Nya, hidup di akhirat, kewajiban terhadap Tuhan, kewajiban berbuat baik dan menjauhi larangan, dan cara pembuatan hukum. Namun, wahyu tetap perlu diturunkan sebagai penolong akal untuk mengetahui secara terperinci kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.
Syaikh Muhammad Abduh amat menekankan ketauhidan dan rasionalitas, terutama sebagai responnya terhadap situasi sosial keagamaan masyarakat Mesir yang terbelakang dengan taqlid, bid‘ah, dan khurafat, serta pemikiran mereka yang statis. Abduh melihat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan tersebut adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya ialah kebebasan berpikir.
Pendidikan pada umumnya tidak diberikan kepada kaum wanita, sehingga wanita tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Abduh berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari ketidaktahuan umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka mempelajari dengan cara yang tidak tepat. Menurut Abduh, penyakit tersebut dapat diobati dengan cara mendidik mereka dengan sistim pengajaran yang tepat.
Sistim pendidikan yang ada pada saat itu melatarbelakangi pemikiran pendidikan Syaikh Muhammad Abduh. Sebelumnya, pembaruan pendidikan Mesir diawali oleh Muhammad Ali. Dia hanya menekankan pada perkembangan aspek intelektual dan mewariskan dua tipe pendidikan pada masa berikutnya. Model pertama ialah sekolah-sekolah moderen, sedang model kedua adalah sekolah agama. Masing-masing sekolah berdiri sendiri, tanpa mempunyai hubungan satu sama lain. Pada sekolah agama tidak diberikan pelajaran ilmu-ilmu moderen yang berasal dari Barat, sehingga perkembangan intelektual berkurang. Sedangkan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya diberikan ilmu pengetahuan Barat, tanpa memberikan ilmu agama.
Dualisme pendidikan yang memunculkan dua kelas sosial yang berbeda. Yang pertama menghasilkan ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi, sedang sekolah yang kedua menghasilkan kelas elit. Generasi muda yang dimulai pada abad 19, dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, membuat mereka dapat menerima ide-ide Barat. Syaikh Muhammad Abduh melihat segi negatif dari dua model pendidikan tersebut, sehingga mendorongnya untuk mengadakan perbaikan pada dua instansi tersebut.
Menurut Syaikh Muhammad Abduh tujuan pendidikan seharusnya di arahkan untuk mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual. Syaikh Muhammad Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan dan jiwa dengan agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.
Kurikulum yang dirumuskan Syaikh Muhammad Abduh bisa dipetakan sebagai berikut: pertama, Untuk tingkat sekolah dasar: membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak, serta sejarah Islam; kedua, untuk tingkat menengah: manthiq dan dasar, dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fikih dan akhlak, dan sejarah Islam; ketiga, untuk tingkat atas: tafsir, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Dengan penerapan model kurikulum di atas, tampaklah bahwa Syaikh Muhammad Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada pada saat itu. Untuk mengalami kemajuan yang signifikan, Syaikh Muhammad Abduh merasa penting buat sekolah-sekolah umum memberikan pelajaran agama dan al-Azhar diharapkan menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat.
Dalam konteks metodologi pengajaran, Syaikh Muhammad Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman) dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena metode hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh menekankan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Kecuali itu, menurut Syaikh Muhammad Abduh, pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah mendapat hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini didasarkan kepada QS al-Baqarah (02): 228 dan QS al-Ahzab 33: 35).
Pendapat Syaikh Muhammad Abduh tersebut di Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaru. Murid-muridnya seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al-Manar dan tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin dengan bukunya Tahrr al-Mar‘ah, Syaikh Thanthawi Jauhari melalui karangannya al-Taj al-Marshuih bi al-Jawahir al-Qur‘an wan al-Ulum. Demikian pula selanjutnya seperti Farid Wajdi, Husein Haykal, Abbas Mahmud al-Akkad, Ibrahim A. Kadir al-Mazin, Mustafa Abd. Al-Raziq, dan Sa’ad Zaqlul, bapak kemerdekaan Mesir. Dan kemudian sampailah gagasan-gagasan Syaikh Muhammad Abduh yang berkemajuan dalam kerja-kerja pembaruan Islam ke Indonesia, sebagaimana yang kemudian menginspirasi KH. Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh muslim lain di tanah air.
Bahkan menurut Harun Nasution, selanjutnya, karangan Syaikh Muhammad Abduh sendiri banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, bahasa Turki, dan bahasa Indonesia. Gagasan Muhammad Abduh tentang pendidikan yang berkemajuan ini dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam di awal abad ke 20. Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di Majalah al-Manar dan Al-Urwatul Wutsqa menjadi rujukan para tokoh pembaru dalam dunia Islam termasuk KH. Ahmad Dahlan, dan pada gilirannya di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Syaikh Muhammad Abduh.
K.H Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim di tanah air yang mewariskan tajdidiyah dengan tetap berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Model dakwah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan adalah model dakwah Salafiyah dan Tajdidiyah dengan mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak terikat dengan aliran teologis, madzhab fikih dan tariqah shufiyah mana pun. Namun dalam kerja-kerja pembaharuan Islam tersebut, sulit menampik K.H Ahmad Dahlan banyak mengambil inspirasi dari pemikiran Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha saat berada di Arab Saudi.
Terutama Syaikh Muhammad Abduh, gagasan pembaharuannya banyak mengispirasi KH. Ahmad Dahlan dalam upayanya melakukan gerakan untuk memgembalikan kepada ajaran Islam yang murni, yang disebut sebagai gerakan purifikasi. Gerakan purifikasi yang dimaksud di sini bukanlah puritanisme yang serampangan seperti yang dicitrakan oleh kelompok Wahabi. KH. Ahmad Dahlan juga tidak pernah anti dengan kearifan lokal sejauh kearifan lokal tersebut tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran agama Islam.
Gerakan purifikasi yang dicitrakan oleh KH. Ahmad Dahlan justru boleh dibilang, sebagaimana telah dikatakan, lebih dekat atau banyak terinspirasi oleh gagasan Syaikh Muhammad Abduh dan bukannya Abdullah bin Abdil Wahab. Pendapat ini perlu penulis cetak tebal, agar tidak terjadi simpang siur yang mengaitkan model pembaharuan Islam yang diusulkan KH. Ahmad Dahlan dengan model gerakan wahabi yang dipelopori oleh Abdullah bin Abdil Wahab.
Sebagaimana kesuksesan yang diraih Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha dalam mengusahakan pembaharuan Islam dan pendidikan, begitupula yang ingin dikerjakan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang pada gilirannya terbukti banyak berkontribusi bagi kebangkitan Islam di Indonesia. Niat KH. Ahmad Dahlan jelas adalah untuk memperbaharui cara berfikir dan cara hidup umat Islam Indonesia. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia yang kita cicip pada hari ini, jelas sulit memungkiri adanya kontribusi pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan organisasi Muhammadiyah yang dirintisnya. Sukarno, Presiden Republik Indonesia, bahkan pernah mengatakan alasannya menggabungkan dirinya ke Muhammadiyah juga karena alasan betapa Muhammadiyah sangat rasional dan berpihak pada pembaharuan.