Mengapa Syaikh Muhammad Abduh?
Kuatnya pengaruh Syaikh Muhammad Abduh dalam gagasan-gagasannya KH. Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh muslim lain di tanah air bisa dikaitkan dengan cerita tentang betapa berartinya Tafsir al-Manar. Begiti pula bagi KH. Ahmad Dahlan. Diceritakan tentang bagaimana saat Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad) berada satu gerbong kereta api dengan Ahmad Dahlan (yang kemudian merintis Muhammadiyah), dan beliau duduk berhadap-hadapan. Meski saat itu mereka tidak mengenal satu sama lain, tetapi justru perkenalan yang terjadi di antara mereka didorong atas hobi yang sama, yaitu: membaca tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad ‘Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha. Pertemuan itu akhirnya membuahkan ikrar bersama untuk bekerja menyebarkan gagasan-gagasan ‘Abduh di masyarakat masing-masing.
Syaikh Muhammad Abduh lahir di Mesir pada tahun 1849 M/ 1226 H, pada masa pemerintahan Ali Pasya dan dibesarkan di Mahallat Nasr. Syaikh Muhammad Abduh adalah putera dari Abduh Hasan Khairullah yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Ibunya berasal dari suku Arab asli. Menurut riwayat, silsilah keturunannya sampai kepada Umar bin Khattab.
Syaikh Muhammad Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang ia peroleh adalah membaca, menulis, dan menghapal al-Qur‘an. Syaikh Muhammad Abduh mampu menghapal al-Qur‘an dalam jangka waktu yang sangat singkat, yaitu hanya dua tahun. Pada usia 12 tahun ia telah menyempurnakan hapalannya. Kemudian pada usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di Masjid al-Ahmadi. Di tempat ini ia belajar Bahasa Arab dan Fikih, serta menjaga hapalannya. Setelah belajar selama dua tahun, Syaikh Muhammad Abduh merasa bosan dan kecewa bahkan membawanya pada keputusasaan untuk mendapatkan ilmu seperti yang diinginkannya. Perasaan ini berpangkal dari metode pengajarannya, yang diterapkan di sekolah tersebut. Metode yang dipakai adalah hapalan tanpa mementingkan pemahaman. Hal ini menyebabkan ia memilih untuk kembali ke Mahallat Nasr.
Pada tahun 1866 M/1282 H, Syaikh Muhammad Abduh memasuki fase hidup berumah tangga. Empat puluh hari setelah ia menikah, ia diminta oleh ayahnya untuk kembali ke Tanta. Dalam perjalanannya ke Tanta, ia mengubah haluan menuju ke Kanisah untuk menemui pamannya Syaikh Darwisy Khadar. Pamannya ini adalah orang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas karena sering melakukan perlawatan ke luar Mesir. Kepada pamannya inilah selanjutnya ia belajar dan mulai menekuni ilmu tasawuf. Selanjutnya Syaikh Muhammad Abduh kembali melanjutkan studinya ke Masjid al-Mahdi, Tanta. Beberapa bulan setelahnya, ia pergi ke Kairo dan memasuki al-Azhar.
Di al-Azhar ini, ia dan kawan-kawannya mempunyai kesempatan berdialog dengan tokoh pembaru Jamaluddin al-Afghani (1870). Jamaluddin al-Afghani lahir di Mesir pada tahun 1838 dan wafat di Turki tahun 1897 M. Ia adalah seorang pemikir Islam, aktivis politik dan jurnalis terkenal. Ia membenci kolonialisme dan mendorong gerakan Pan-Islamisme. Ia memiliki kepandaian, wibawa, kharisma, dan keyakinan akan masa depan peradaban Islam di tengah gejolak kolonialisme Eropa. Di negeri Islam, ia menjadi tokoh pemikiran nasionalisme.
Di sinilah awal perkenalan Syaikh Muhammad Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya. Melalui gurunya ini, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, teologi, politik, dan jurnalistik. Salah satu bidang yang paling menarik perhatiannya adalah teologi, terutama teologi Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah salah satu aliran teologi Islam yang bersifat rasional dan liberal yang didirikan oleh Washil bin Atha’ pada tahun 718 M/ 100 H. Aliran ini sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam, karena pandangan teologisnya yang lebih banyak didukung oleh dalil aqliyah (akal). Disebabkan tertarik dengan aliran Mu’tazilah, Syaikh Muhammad Abduh pernah dituduh ingin menghidupkan kembali aliran ini. Dia dipanggil oleh tokoh penentang aliran Mu’tazilah, namun Abduh mengatakan tidak taklid pada aliran manapun dan ingin menjadi pemikir yang bebas.
Setelah tamat dari al-Azhar pada tahun 1877 M, atas usaha perdana menteri Riyadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen/ pengajar di Universitas Dar al-‘Ulum dan al-Azhar. Di al-Azhar ia mengajar logika, teologi, dan filsafat. Ketika mengajar, Abduh senantiasa menekankan kepada muridnya agar berpikir kritis dan rasional, dan tidak terikat kaku pada suatu pendapat tertentu. Dalam memangku jabatannya ini, ia terus mengadakan perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan “udara segar” ke dalam perguruan-perguruan tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman, mengembangkan kesusasteraan Arab sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Di saat kaum ulama kuno mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, maka Abduh mengatakan bahwa pintu ijtihad itu akan selalu terbuka terus menerus bagi para alim ulama sampai dunia ini kiamat. Sebab Allah SWT telah mengaruniai kepada para hamba-Nya akal merdeka yang bebas mengembangkan buah pikiran untuk kebahagiaan dan kemajuan umat manusia.
Tidak hanya itu, ia juga melontarkan kritik tajamnya kepada pemerintah saat itu, berkenaan dengan politik pendidikan yang diterapkan. Sistem pengajaran yang diterapkan pada saat itu menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai ruh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajahan asing. Pada tahun 1879 M, yaitu 2 tahun setelah pengangkatan Abduh sebagai dosen, pemegang kekuasaan Mesir, Khedive Ismail digantikan oleh puteranya Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini rupanya lebih kolot dan reaksioner. Abduh dipecat dari jabatannya dan Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir. Pada perkembangannya, kurang lebih satu tahun kemudian, Syaikh Muhammad Abduh kembali diberi tugas oleh pemerintah menjadi pemimpin Majalah al-Waqa‘i al-Mishriyah, dan sebagai pembantunya diangkat Sa’ad Zaqlul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang masyhur. Melalui majalah ini, Syaikh Muhammad Abduh dapat kembali menyampaikan isi hatinya. Ia menyampaikan artikel-artikel yang hangat dan bernilai keilmuan yang tinggi. Selain itu ia juga dapat kembali menyampaikan kritiknya kepada pemerintah tentang hal-hal yang berkenaan dengan politik, sosial, dan pendidikan di Mesir.
Pada tahun 1882 M, terjadi pemberontakan di Mesir, di mana perwira-perwira tinggi yang tadinya dipercaya setia kepada pemerintah ambil bagian dan bahkan menjadi pemimpin pemberontakan tersebut. Pemberontakan tersebut diawali oleh kemunculan sebuah gerakan yang dipimpin oleh Arabi Pasya dan Abduh sebagai penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, Abduh dibuang ke luar negeri dan ia memilih Syria (Beirut). Di sini ia mendapatkan kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Pada tahun 1884 M, ia pergi ke Paris atas panggilan Jamaluddin al-Afghani yang saat itu telah berada di sana. Walaupun dalam masa pembuangan, namun semangat juangnya tidak pernah luntur. Masa ini ia pandang sebagai kesempatan terbaik untuk melebarkan sayap perjuangannya dan mengembangkan dakwah Islam seluas-luasnya. Saat itu ia berdakwah di alam cakrawala dunia internasional, dalam cakupan yang lebih besar dan luas, yaitu di Paris yang terkenal dengan sebagai kota pusat peradaban dan kebudayaan Eropa.
Syaikh Muhammad Abduh memang selalu konsisten dengan sikap beraninya dalam membela Islam dari segala serangan dan penghinaan. Ia menantang Gabriel Henatoux, Menteri Luar Negeri Prancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Kemudian Hanoux seolah-olah meminta maaf melalui tulisannya dalam majalah al-Muayyad. Selain itu dihadapinya pula Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin majalah al-Jami‘ah, majalah Kristen yang terbit di Kairo, yang menyinggung perasaan umat Islam.
Di Paris, bersama Jamaluddin al-Afghani, ia menyusun suatu gerakan yang disebut sebagai Al-Urwatul Wutsqa, gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini, diterbitkanlah majalah dengan nama yang sama, yaitu Urwatul Wutsqa, dengan perantaraan majalah ini, Abduh mengajak seluruh umat Islam untuk sadar dan bangkit dan lepas dari cara berpikir yang fanatik dan kolot serta bersatu dalam membangun peradaban dunia. Dalam waktu yang singkat, majalah ini rupanya telah sangat berpengaruh bagi umat Islam serta mampu membuat kaum imperialis gempar dan cemas. Setelah majalah ini terbit 18 nomor, pemerintah Perancis melarangnya terbit. Demikian pula dengan pemerintahan Inggris yang melarang masuknya majalah itu ke India dan Mesir.
Pada tahun 1884 M, Syaikh Muhammad Abduh diizinkan untuk kembali ke Mesir. Setibanya di Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah. Masyarakat sangat menghormatinya. Kehadirannya kembali di Mesir sangat dinantikan oleh masyarakat untuk melanjutkan perjuangannya yang pernah ia tinggalkan. Syaikh Muhammad Abduh mengadakan perbaikan di Universitas al-Azhar. Rencananya itu didukung oleh pemerintah, Khedive Abbas Hilmi, meskipun terdapat banyak rintangan reaksioner yang selalu muncul dari pihak lawannya. Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi mufti Mesir oleh pemerintah. Mufti dipandang sebagai jabatan yang paling tinggi bagi umat Islam pada saat itu. Oleh karena itupula, amanah ini ia jalankan dengan sebaik-baiknya hingga ia meninggal. Di samping itu, ia juga diangkat sebagai anggota majelis perwakilan. Syaikh Muhammad Abduh sering ditunjuk sebagai ketua panitia penghubung dengan pemerintah dan ia dikenal sebagai hakim yang sangat adil.